9 Mei 2017

Melejitkan Karir Guru Dengan Menulis



MELEJITKAN KARIR GURU DENGAN MENULIS KARYA ILMIAH

(REFLEKSI KRITIS PERMENPAN DAN RB NO 16/2009)



MAKALAH


Oleh :
ACHMAD HUFRON, S.Pd.Jas.M.Pd.
NIP. 198308262006041006




ABSTRAK

Hufron, Achmad. 2017. hufron_achmad@yahoo.co.id. Melejitkan Karir Guru Dengan Menulis Karya Ilmiah (Refleksi Kritis Permenpan dan RB No. 16 Tahun 2009).

Kata Kunci: Karir Guru, Karya Ilmiah

Tujuan penulisan makalah ini memaparkan hambatan-hambatan yang mengakibatkan rendahnya produktifitas guru dalam menulis karya ilmiah dan bagaimana strategi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan gerakan menulis karya ilmiah bagi guru untuk peningkatan karir guru sesuai dengan tuntutan Permenpan dan RB No.16 Tahun 2009. Latar belakang penulisan makalah ini yaitu pengembangan karir guru terutama kenaikan pangkat diharuskan dengan penulisan karya ilmiah. Sebagian besar guru merasa keberatan dengan peraturan tersebut. Dilapangan banyak guru kenaikan pangkatnya terhambat karena belum membuat karya tulis ilmiah. Strategi yang dapat ditempuh dalam melaksanakan gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru, yaitu: (1) tingkatkan pelatihan menulis karya ilmiah di kalangan guru; (2) berlangganan majalah ilmiah/jurnal; (3) membuat majalah ilmiah/jurnal minimal di tingkat kabupaten; (4) meningkatkan frekuensi pelaksanaan lomba menulis karya ilmiah dalam bidang pendidikan; dan (5) meningkatkan motivasi guru untuk menulis karya ilmiah. Kesimpulannya adalah dengan menulis karya ilmiah maka karir guru yang berkaitan dengan kenaikan pangkat tidak terhambat.
     

 



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Guru merupakan ujung tombak pendidikan. Sebagai pendidik, guru harus memiliki kompetensi-kompetensi tertentu agar mampu mendidik anak didiknya dengan baik. Menurut UU No.14 Tahun 2005 pasal 10 ayat 1,  kompetensi yang harus dimiliki oleh guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Pembinaan dan pengembangan karir guru tidak hanya sekedar tuntutan yang berupa wacana saja. Akan tetapi, ada payung hukum yang membawahinya yaitu Undang-Undang Pendidikan Nasional tentang Guru dan Dosen yang diatur pada pasal 32 ayat 1 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier; dan (2) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.  
Berdasarkan bunyi ayat 4 Undang-Undang di atas, maka pembinaan karier guru mencakup penugasan, kenaikan pangkat serta promosi jabatannya. Kesemua itu idealnya dikecap oleh setiap guru. Ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai individu yang mempunyai keterbatasan kemampuan tenaga dan waktu. Dengan kemampuan yang dimiliki dalam bereaksi, berkreasi secara positif untuk mencapai salah satu tujuan keberhasilan serta tanggungjawab prilaku individu.
Sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, sebagai acuan pelaksanaan  penilaian kinerja  guru di sekolah untuk mempermudah proses penilaian kinerja guru. Dalam peraturan ini, menyebutkan bahwa tidak hanya kenaikan pangkat pembina golongan ruang IV/a ke atas yang mensyaratkan angka kredit dari unsur publikasi ilmiah ataupun dari karya inovatif, namun juga kenaikan pangkat guru Penata Muda golongan ruang III/b ke pangkat/ golongan ruang yang lebih tinggi. Hal tersebut bertujuan untuk lebih memotivasi guru untuk meningkatkan produktifitasnya dalam menulis sejak dini.
Sekilas ketentuan yang mewajibkan guru menulis ini nampak bagus. Dengan menulis, terutama menulis karya tulis ilmiah, diharapkan guru dapat mengembangkan kemampuan kreatifnya dan selalu meng-update pengetahuan dan kemampuan mengajarnya terutama dengan model-model pembelajaran yang lebih efektif. Namun, pada kenyataannya terdapat sekian masalah. Masalah utama yang muncul dari dampak peraturan tersebut adalah sulitnya memenuhi persyaratan nilai dalam bidang pengembangan profesinya dimana guru dituntut untuk membuat karya tulis ilmiah yang dipublikasikan.

B.        Perumusan Masalah
Masalah-masalah yang diangkat dalam penulisan ini adalah:
1.        Rendahnya produktifitas guru dalam menulis karya tulis ilmiah.
2.        Hambatan- hambatan yang menyebabkan rendahnya produktifitas guru dalam menulis karya tulis ilmiah.
3.        Upaya untuk meningkatkan kemampuan menulis karya tulis ilmiah.

C.       Manfaat Penulisan
Dengan membaca tulisan ini diharapkan para pembaca dapat mengambil manfaat terutama bagi :
1.      Para guru, sebagai masukan bagi guru untuk memaksimalkan dirinya dalam mengembangkan profesinya khususnya dalam menulis karya tulis ilmiah.
2.      Dinas Pendidikan serta Pemerintah Daerah yang mempunyai kewenangan  dalam pengembangan karier bagi guru, sebagai bahan acuan untuk mengetahui apa sajakah hambatan guru dalam menulis karya tulis ilmiah.



BAB II
PEMBAHASAN

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, sebagai acuan pelaksanaan  penilaian kinerja  guru di sekolah untuk mempermudah proses penilaian kinerja guru. Membuka peluang bagi semua guru dalam meniti kariernya melalui jenjang kepangkatan yang didasarkan atas angka kredit yang telah diperoleh dan dikumpulkannya. Sehingga memungkinkan guru untuk menduduki pangkat tertinggi dalam lingkungan pegawai negeri sipil (PNS).  Oleh karena itu, kemampuan dan kreativitas guru merupakan unsur atau aspek yang sangat diperlukan. Itu berarti faktor internal guru perlu ditumbuhkembangkan.
A.      Karir
1.        Pengertian Karir
Karir merupakan keseluruhan jabatan atau posisi yang mungkin diduduki seseorang dalam organisasi dalam kehidupan kerjanya, dan tujuan karir merupakan jabatan tertinggi yang akan diduduki seseorang dalam suatu organisasi. Berikut ini beberapa pengertian karir menurut para ahli:
Menurut Robert L. Mathis – John H. Jackson (2006;342) mengemukakan bahwa pengertian karir adalah sebagai berikut : ”Karir adalah rangkaian posisi yang berkaitan dengan kerja yang ditempati seseorang sepanjang hidupnya”.
Menurut Simamora (2001:505) karir adalah “Urutan aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan pekerjaan dan perilaku-perilaku, nilai-nilai, dan aspirasi seseorang selama  rentang  hidup orang  tersebut”.  Perencanaan karir  merupakan proses  yang disengaja  di mana  dengan melaluinya  seseorang menjadi  sadar  akan  atribut-atribut yang berhubungan dengan karir  personal  dan  serangkaian  langkah  sepanjang  hidup memberikan sumbangan pemenuhan karir. 
Pendapat  Ekaningrum (2002:256). Karir  tidak  lagi  diartikan  sebagai adanya  penghargaan institusional  dengan  meningkatkan kedudukan dalam hirarki formal  yang  sudah ditetapkan dalam organisasi. Dalam paradigma tradisional, pengembangan karir  sering  dianggap  sinonim  dengan persiapan untuk mobilitas  ke jenjang lebih tinggi, sehingga karir akan mendukung efektifitas  individu dan organisasidalam mencapai tujuannya.  
Menurut Dalil S  (2002  : 277)  “ karir merupakan suatu proses yang sengaja diciptakan perusahaan untuk membantu karyawan  agar  membantu partisipasi ditempat kerja. Sementara itu Glueck (1997 :134) menyatakan karir individual adalah urutan pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan yang dialami seseorang  selama masa  kerjanya.  Sehingga  karir  individu melibatkan  rangkaian pilihan dari  berbagai kesempatan, tapi dari sudut pandang organisasi  karir merupakan  proses  regenerasi tugas yang baru. 
Sehingga dapat disimpulkan bahwa karir adalah suatu rangkaian atau pekerjaan yang dicapai  seseorang dalam  kurun  waktu  tertentu  yang  berkaitan dengan  sikap, nilai, perilaku dan motivasi dalam individu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karir adalah perjalanan kerja yang dilalui seseorang dalam kehidupannya. Karir menunjukkan perkembangan para pegawai secara individual dalam jenjang jabatan atau kepangkatan yang dapat dicapai selama masa kerja dalam suatu organisasi.

2.        Pengembangan Karir
Menurut Veitzhal Rivai (2003:290) mendefinisikan pengembangan karir adalah sebagai "Pengembangan karir adalah proses peningkatan kemampuan kerja individu yang dicapai dalam rangka mencapai karir yang diinginkan".
Pengertian pengembangan karir yang dikemukakan oleh Andrew J. Dubrin (1982:197) yang dikutip oleh Anwar PrabuMangkunegara (2000:77) adalah sebagai berikut: “Pengembangan karir adalah aktivitas kepegawaian yang membantu pegawai-pegawai merencanakan karir masa depan mereka di perusahaan agar perusahaan dan pegawai yang bersangkutan dapat mengembangkan diri secara maksimum.”
Menurut Bambang Wahyudi (2002:161) mendefinisikan pengembangan karir adalah sebagai berikut: “Setiap orang yang bekerja pada suatu perusahaan akan memiliki sejumlah harapan sebagai balas jasa atas pengorbanan atau prestasi yang telah diberikannya. Salah satu diantaranya adalah harapan untuk meraih posisi/jabatan yang lebihtinggi atau lebih baik dari posisi/jabatan sebelumnya.”
Jadi dengan demikian, pengembangan karir merupakan tindakan seorang karyawan untuk mencapai rencana karirnya, yang disponsori oleh departemen sumber daya manusia, manajer ataupun pihak lain.

1.      Bagian 1
Pengaturan kenaikan pangkat guru telah mengalami tiga fase. Fase pertama adalah kenaikan pangkat otomatis, yaitu dalam kurun 4 tahun sekali. Hal ini mirip dengan kenaikan pangkat pada jenjang struktural. Kenaikan pangkat tersebut kemudian diganti pemerintah dengan sistem perhitungan angka kredit karena apabila tetap diberlakukan, maka banyak guru yang akan dengan mudah pensiun pada golongan IV e.
Fase selanjutnya adalah kenaikan pangkat yang menggunakan angka kredit kumulatif (sesuai dengan PERMENPAN Nomor 84/1993 dan PERMENDIKNAS Nomor 025 tahun 1995). Kenaikan pangkat ini lebih bersifat penulisistratif karena besarnya poin angkat kredit lebih banyak ditunjukkan oleh prestasi kuantitas penulisistrasi yang dihasilkannya, mulai dari kegiatan utama seorang guru seperti menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, melaksanakan evaluasi belajar, dan seterusnya.
Kenaikan pangkat ini pada akhirnya diganti pemerintah karena disinyalir masih banyak guru yang hanya sekedar melengkapi bukti penulisistrasi saja yang notabene dianggap “fiktif”. Sementara itu, fase ketiga adalah kenaikan pangkat guru yang menggunakan PKG (Penilaian Kinerja Guru), yang akan diberlakukan efektif mulai awal tahun 2013 nanti. Peraturan yang dimaksud adalah Praturan Menteri Pendidikan Nasional No. 35 tahun 2010, sebagai tindaklanjut dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 16 tahun 2009 (dapat anda download di sini).
Banyak yang beranggapan (terutama non-guru), bahwa yang dilakukan pemerintah adalah terobosan baru yang sudah tepat. Terbukti dari sekian banyak media online yang mengungkap tentang PKG ini, disambut dengan hangat.
Tetapi, aturan baru PKG yang efektif berlaku januari 2013, adalah peraturan yang bakal “mencekik” guru. Banyak hal yang layak dipertanyakan, baik secara teoretis, maupun faktual. Hal mendasar dari semua itu adalah gambaran peraturan yeng semestinya hanya tepat diberlakukan di wilayah tertentu Indonesia, atau semestinya berlaku bagi yang sudah memiliki golongan IV a ke atas.
Dasar pemikiran ini muncul ketika seakan imej masyarakat melihat kesejahteraan guru yang bukan lagi seperti sosok “oemar bakri”. Guru hari ini mendapat kesejahteraan yang lebih dengan berbagai tunjangan termasuk program sertifikasi guru. Pihak non-guru “berang”, seakan merasa tidak adil. Mereka mengatakan, guru mendapat sertifikasi, dan mendapat libur lebih. Penulis menegaskan “itu salah”. Pekerjaan seorang guru, bukan hanya duduk, bukan hanya mengajar dan atau mendidik, tapi setumpuk pekerjaan yang harus dibawa pulang seusai mengajar. Bayangkan dengan aturan jam tatap muka minimal 24 jam per pekan, maka bagi yang memiliki jam mata pelajaran bidang studi hanya 2 jam per pekan, maka guru tersebut harus manghadapi 12 kelas, jika satu kelas terdiri dari 25 siswa, maka per pekan guru tersebut akan menghadapi/mengurusi 300 siswa. Coba pembaca membayangkan jika satu pekan 12 kelas ini masing-masing diberi soal evaluasi 5 nomor saja dengan model pemeriksaan hasil jawaban sistem bobot, maka guru tersebut akan memeriksa/membaca/menganalisa 1500 soal dengan sistem bobot nilai, yang berdasarkan pengalaman, jika diperiksa dibutuhkan paling cepat 2 menit per nomor soal. Artinya dibutuhkan 3000 menit per pekan hanya untuk memeriksa hasil evaluasi tiap pertemuan, belum yang lain. Sekali lagi, belum pekerjaan rumah yang lain berkaitan dengan 300 siswa tadi. Contoh ini menegaskan bahwa keliru jika dikatakan bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan mudah, mendapat tunjangan tinggi dengan libur beruntun.
Munculnya aturan PKG menuntut profesionalisme guru sesuai harapan pemerintah yang sampai hari ini, arah tujuan pendidikan yang dianggap berhasil itu justru tidak jelas. Hal ini berakibat syarat uji profesionalisme guru pun menjadi tidak jelas. Lihat aturan seorang guru profesional harus memiliki sertifikat. Untuk mendapatkan sertifikat, bagi yang masih......mengikuti pendidikan dan pelatihan oleh perguruan tinggi yang ditunjuk selama -+1 bulan. Apakah profesionalisme tercapai hanya dalam DIKLAT 1 bulan??.
Ketika regulasi ini belum berhasil, muncullah regulasi baru, yang insya Allah memancing kolusi baru di tingkat daerah. Ini menunjukkan, regulasi yang ditetapkan pemerintah seakan tidak melihat yang dibuat sebelumnya sudah sesuai atau belum dengan regulasi yang telah ada.
2.        Bagian 2
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (Reformasi Birokrasi) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, secara otomatis membuat adanya perubahan mendasar dalam teknik perhitungan kenaikan pangkat seorang guru. Penilaian Kinerja Guru ini dinilai lebih berorientasi praktis, kuantitatif dan kualitatif.
Perubahan penting pada sistem penilaian kinerja guru dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 35 2010, menindaklanjuti Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (Reformasi Birokrasi) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya seperti yang telah disebutkan di atas, adalah pada sisi jenis jabatan dan kepangkatan guru. Pada model penilaian angkat kredit kinerja guru yang baru ini terdapat 4 jenis jabatan dan pangkat guru, yaitu: Guru Pertama untuk golongan III a dan III b; Guru Muda untuk golongan III c dan III d; Guru Madya untuk golongan IV a, IV b, dan IVc; dan Guru Utama untuk golongan IVd dan IVe. Semakin besar golongan dan jabatan seorang guru, maka semakin besar angka kredit yang wajib diperoleh dari kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan serta Publikasi Ilmiah / Karya Inovatif (Karya Ilmiahnya).
Adanya sistem penilaian kinerja guru yang baru ini. Seorang guru kini tidak mudah lagi naik pangkat, apalagi yang penilaian kinerjanya berlabel hanya “cukup” saja. Seorang guru tidak bisa lagi mengandalkan pengetahuan lamanya. Pengetahuan guru harus selalu diupdate. Seorang guru kini akan dinilai langsung ketika mengajar di kelas. Kemudian, guru pun harus banyak berlatih menulis untuk hasil karya ilmiahnya karena hal ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan sejak seorang guru berpangkat Guru Pertama (golongan III a). Guru harus punya banyak buku untuk referensi penulisan karya ilmiahnya. Intinya, pekerjaan guru menjadi lebih banyak.
Hal yang paling mencemaskan adalah muncul sikap apatis seorang guru yang mungkin saja selama ini terlanjur gembira karena bisa menikmati tunjangan sertifikasi dan fungsionalnya, kini berubah menjadi duka karena ternyata begitu sulitnya untuk urusan kenaikan pangkatnya. Artinya, banyak guru yang harus pasrah dengan pangkat yang disandangnya selama bertahun-tahun. Celakanya lagi, guru yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam beberapa kurun waktu tertentu dalam pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkatnya akan dikenakan sanksi berupa pencabutan tunjangan profesi serta tunjangan fungsionalnya. Penulis lebih beranggapan bahwa itu merupakan hayalan saja dikarenakan beberapa hal yang semestinya dijadikan pertimbangan. Peraturan Menteri tentunya berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali hal tersebut diatur dalam poin tertentu atau peraturan khusus tentang itu.
Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 35 tahun 2010 tentang petunjuk teknis Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya ini (dowload di sini), seakan tidak memperhatikan kondisi sosiologis suatu daerah. Di daerah makassar, batak, atau daerah yang penduduknya bekarakter keras, akan sulit menerima peraturan ini sebagaimana mestinya. Ketika yang menjadi penilai adalah orang yang ditunjuk oleh kepala sekolah atau dari pengawas, maka akan terjadi kongkalikong, atau ancaman terhadap penilai. Bayangkan jika tahun mendapat tunjangan sertifikasi guru, tiba-tiba tahun depan terancam dicabut hanya karena memiliki nilai hasil pemeriksaan dari orang yang mungkin teman sendiri atau orang yang kita kenal, hanya bernilai cukup. Masalah lain, guru yang belum menerima tunjangan serifikasi akan mendapat pola penilaian yang sama denga yang sudah mendapatkan sertifikasi. Hal ini juga akan menimbulkan kesenjangan baru, atau minimal rasa ketidakadilan di antara para guru.
Tulisan di atas menggambarkan sedikit hal dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 35 tahun 2010, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (Reformasi Birokrasi) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jika hal tersebut berjalan sesuai harapan, maka tentu profesionalisme guru akan seperti yang diharapkan pula. Tapi jika tidak atau peraturan ini akan dipaksakan, maka nasibnya kemungkinan akan sama dengan PP 53 yang faktanya, kebanyakan oknum telah menemukan celah, bagaimana melanggar sebuah aturan dengan aman.
3.        Bagian 3
PKG adalah istilah baru yang akan digunakan untuk menilai kinerja guru khususnya untuk kenaikan pangkat model baru pada tahun 2013 nanti. Konsep PKG ini muncul sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (Reformasi Birokrasi) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 35 tahun 2010.
Peraturan tersebut memang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru sebagai tenaga profesional yang mempunyai fungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional (sesuai dengan amanat Undang-undang No. 14 Tahun 2005, Pasal 4). Selain itu, peraturan ini juga bertujuan memberikan ruang serta mendukung pelaksanaan tugas dan peran guru agar menjadi guru yang profesional.
Ada beberapa pertanyaan nyentrik buat para pembuat regulasi ini:
  1. Pengajar/ pendidik di negara ini bukan cuma guru saja. DOSEN juga termasuk. Lihat aturan tentang sertifikasi guru pada Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, diikuti kata “dan Dosen”. Tapi sayang aturan kali ini, kata “dan dosen” dilupakan atau entah sengaja dilupakan. Jika guru mendapatkan kesejahteraan melalui tunjangan sertifikasi, dosen juga sama. Jika guru dianggap belum profesional, apakah dosen sudah profesional?, penulis kira itu sama saja. Dan yang terpenting, dosen pun merupakan aparatur negara persis sama dengan guru. 
  2. Konsep PKG secara tidak langsung menetapkan bahwa seorang guru hanya dapat naik pangkat/ golongan paling cepat 4 tahun, artinya jika seorang terangkat menjadi CPNS ketika berumur 34 tahun, maka yang bersangkutan paling cepat akan berada di golongan IV a ketika berumur 50-an tahun. Ini sama saja membatasi seorang guru mencapai pangkat lebih tinggi menjelang pensiun. Di lain sisi, ada ketidakadilan ketika sebelumnya seorang guru akan naik pangkat maksimal 3 tahun. Kasihan guru baru.... 
  3. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (Reformasi Birokrasi) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya jika bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru yang PNS, bagaimana dengan guru non-PNS, apakah bagi mereka tidak dituntut profesionalisme, jika tidak, akan menimbulkan kesenjangan model baru dalam tiap satuan pendidikan. Dan jika Ya (mereka dituntut profesional juga), aturan apa yang berlaku bagi mereka? 
  4. Dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 35 tahun 2010 sebagai tindaklanjut dari Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (Reformasi Birokrasi) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya dikatakan PKG akan dilakukan oleh yang ditunjuk oleh kepala sekolah, atau dari pengawas. Apa hal ini tidak memancing kolusi internal di tiap satuan pendidikan. Untuk hal ini, lihat penerapan PP 53 tentang kedisiplinan PNS..berapa oknum PNS yang melanggar, meski kelengkapan penulisistratifnya tidak melanggar??. Ada kekhawatiran semua guru dari tiap satuan pendidikan akan bernilai memuaskan, meski untuk nilai cukup saja jika dinilai jujur tidak akan tercapai. 
  5. Peraturan Menteri Pendidikan nasional No. 35 tahun 2010 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan RB (Reformasi Birokrasi) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, seakan tidak melihat posisi guru sebagai seorang pendidik bagi keluarga mereka masing-masing. Lihat aturan pada lembar kompetensi paedagogik, poin 1 “guru harus mengetahui karakteristik dari tiap peserta didiknya”, dengan format penilaian pemantauan. Artinya jika seorang guru menghadapi 300 siswa, maka yang bersangkutan harus mampu setidaknya menghapal 300 karakteristik siswa. Penulis bukan mengatakan hal ini tidak mungkin, ini baru satu poin dari 7 poin standar paedagogik, belum poin lain dari standar lain. Artinya semua waktu akan berakhir untuk peserta didik di sekolah dan di rumah, dan tidak ada untuk keluarga.
Beberapa pertanyaan di atas, kiranya menjadi perhatian bagi siapa saja yang membaca tulisan ini. Jika yang dituntut adalah profesionalisme guru, maka sejak perekrutan mereka menjadi CPNS, mulai diterapkan, banyak regulasi terbaik untuk itu. Bukan memberikan 100 nomor soal yang sama kepada guru dari standar akademik yang berbeda. Bukan melakukan pungutan, yang sampai kapan pun, oknum yang melakukan akan sulit dibuktikan. Bukan dengan KKN, atau sistem balas jasa akibat PILKADA model pemilihan langsung buat tim sukses. Pilihlah yang memang profesional atau memiliki bakat untuk menjadi profesional.

C.      Hambatan-Hambatan yang Menyebabkan Rendahnya Produktifitas Guru dalam Menulis Karya Tulis Ilmiah
Ada beberapa kemungkinan penyebab rendahnya kemampuan guru dalam menulis karya ilmiah yaitu:
1.        Kurangnya pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan guru dalam menulis karya ilmiah, khususnya menulis artikel ilmiah,
Guru yang telah memiliki pangkat IV/A ke atas sebagian besar adalah produk lama yang memiliki rata-rata kemampuan menulis yang kurang memadahi. Hal ini perparah dengan minimnya dalam kemampuan metodologi ilmiah maupun dari kemampuan menggunakan teknologi informasi terkini. Hal itu menyebabkan kesulitan tersendiri bagi mereka dalam mengemukakan gagasan dalam tulisan apalagi yang berbentuk tulisan ilmiah. Selain itu, sebagian dari mereka berkilah bahwa guru terbebani dengan banyaknya tugas, terutama mereka yang sudah mendapat tunjangan sertifikasi dengan kewajiban minimal tatap muka 24 jam perminggu, sehingga tidak memiliki waktu lagi untuk menulis.
2.        Terbatasnya sarana bacaan ilmiah terutama yang berupa majalah ilmiah atau jurnal,
Ada satu pengalaman menarik ketika guru-guru diminta untuk latihan menulis artikel kajian pustaka di rumah masing-masing, mereka mengeluh karena kesulitan mendapatkan sumber bacaan yang relevan. Banyak di antara guru, khususnya guru SD,  yang bertanya apa yang kami harus tulis sementara sumber bacaan yang relevan di sekolah  kami masih sangat terbatas. Keluhan para guru tersebut tentu mudah dipahami karena sarana buku bacaan ilmiah yang berupa laporan penelitian, majalah ilmiah, dan buku-buku metode penelitian atau buku penulisan karya ilmiah di sekolah-sekolah rata-rata kondisinya demikian.
Selain itu masalah ketersediaan sarana akses informasi bagi guru untuk dapat berkembang juga dianggap sama. Akses informasi untuk mereka yang berada di wilayah perkotaan dengan di perdesaan tentu sangat berbeda. Bagaimana mungkin guru yang berada di pelosok nun jauh dari akes internet misalnya, dituntut untuk mampu menulis karya tulis.
3.        Belum tersedianya majalah atau jurnal di lingkungan sekolah atau dinas pendidikan kabupaten yang bisa menampung tulisan para guru,
Tanpa tersedianya majalah ilmiah/jurnal di suatu sekolah atau dinas pendidikan setempat, tentu laporan-laporan penelitian yang berupa PTK, yang belakangan ini sudah banyak dihasilkan para guru tidak bisa diterbitkan sehingga pengakuan kredit poinnya rendah.  Tanpa ketersediaan majalah ilmiah/jurnal, hasil-hasil penelitian para guru menjadi tidak terkomunikasikan secara luas; paling-paling tersimpan di rak buku yang ada pada masing-masing sekolah.
4.        Masih rendahnya motivasi guru untuk mengikuti lomba menulis karya ilmiah.
Orientasi yang hanya pada kenaikan karir guru, bukan pada peningkatan kualitas pengajaran. Hal ini menjadi pengahalang bagi produktivitas guru dalam hal berkarya tulis. Membuat karya tulis masih menjadi beban demi memenuhi syarat penulisistratif kenaikan pangkat. Padahal sejatinya karya tulis bila dihasilkan dari usaha terstruktur dari seorang guru dalam rangka meningkatkan kualitas pengajaran di kelas akan menjadi mudah, karena proses penulisan itu menjadi seiring dengan proses mengajarnya. Tidak mengada-ada.
Dengan demikian perlu kira perubahan pola dari sekedar menuntut guru untuk menulis, tapi lebih dari itu, guru harus menjadikan aktivitas menulis ini bagian dari peningkatan kualitas pengajaran di kelas yang berujung pada meningkatkan proses belajar siswa.

D.     Strategi Pelaksanaan Gerakan Menulis  Karya Ilmiah dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru
Di atas, telah dikemukakan bahwa ada beberapa kemungkinan penyebab rendahnya kemampuan guru dalam menulis karya ilmiah. Sehubungan dengan itu, ada beberapa strategi yang ditawarkan melalui tulisan ini dalam rangka melakukan gerakan menulis di kalangan guru di Indonesia.
1.        Tingkatkan Pelatihan Menulis Karya Ilmiah
Dalam berbahasa, keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang paling tinggi tingkatannya dibandingkan keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menyimak/ mendengarkan. Hal ini mudah dipahami karena dilihat dari segi tahapan pemerolehan bahasa, keterampilan menulis dilakukan pada tahapan terakhir setelah pemerolehan keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca. Akhdiah, dkk. (1996/1997:iii) mengatakan bahwa berbeda dengan kemampuan menyimak dan berbicara, kemampuan menulis tidak diperoleh secara alamiah. Kemampuan menulis harus dipelajari dan dilatihkan dengan sungguh-sungguh.
Belakangan ini, telah diadakan pelatihan menulis karya ilmiah oleh pihak sekolah dan pihak dinas pendidikan baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dengan melibatkan para guru sebagai peserta. Di samping itu, pelatihan menulis karya ilmiah juga sudah pernah dilakukan oleh pihak perguruan tinggi terkait dengan Program Kerja Lembaga Pengabdian Masyarakat. Akan tetapi, secara kuantitas, frekuensi pelatihan penulisan karya ilmiah itu tampaknya masih tergolong rendah. Oleh karena itu, pada masa-masa mendatang,  secara kuantitas, pelaksanan pelatihan penulisan karya ilmiah bagi guru-guru masih perlu  ditingkatkan lagi. Di samping oleh pihak dinas/instansi terkait, pelatihan penulisan karya ilmiah hendaknya diprogrankan secara rutin, minimal sekali dalam satu semester, oleh masing-masing sekolah dengan mendatangkan narasumber dari luar sekolah.
Secara kualitas, dari beberapa kegiatan pelatihan penulisan karya ilmiah yang sudah pernah dilaksanakan tampaknya kurang mengembirakan. Mengapa? Motivasi para guru peserta pelatihan penulisan karya imiah itu lebih banyak mengarah pada pemerolehan sertifikat atau piagam pelatihan dalam rangka untuk mengikuti sertifikasi guru, bukan untuk pemerolehan pengetahuan dan keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka peningkatan profesionalismenya sebagai guru. Motivasi ini tentu menyimpang dari tujuan pelatihan penulisan karya ilmiah itu sendiri.
2.        Berlangganan Majalah Ilmiah/Jurnal
Sadar akan kondisi ketersediaan bacaan ilmiah tersebut, sudah sepatutnya setiap sekolah membuat program untuk berlangganan majalah ilmiah atau jurnal secara rutin dari perguruan tinggi yang relevan seperti Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ketersedian buku bacan ilmiah  sangat penting artinya bagi kepentingan menulis karya ilmiah. Logikanya, dengan sarana bacaan yang memadai, minat baca  para guru akan semakin meningkat. Tingginya minat baca guru akan dapat dijadikan modal dalam menulis karya ilmiah. Oleh karena itu, untuk melakukan gerakan menulis karya ilmiah di kalngan guru, idealnya berlangganan majalah ilmiah dilakukan oleh setiap guru. Namun, jika tidak memungkinkan, dengan adanya peningkatan dana pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD pada tahun 2009, sudah sepatutnya setiap sekolah menyisihkan anggaran secara khusus untuk kepentingan berlangganan majalah ilmiah.
3.        Menerbitkan Majalah Ilmiah/Jurnal
Menerbitkan majalah ilmiah/jurnal memang tidak gampang karena di samping memerlukan kerja keras para pengelolanya juga memerlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Namun, dalam rangka menggalakkan atau menggerakkan aktivitas menulis karya ilmiah para guru, kehadiran majalah ilmiah/jurnal merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Tanpa tersedianya majalah ilmiah/jurnal di suatu sekolah atau dinas pendidikan setempat, tentu laporan-laporan penelitian yang berupa PTK, yang belakangan ini sudah banyak dihasilkan para guru tidak bisa diterbitkan sehingga pengakuan kredit poinnya rendah.  Tanpa ketersediaan majalah ilmiah/jurnal, hasil-hasil penelitian para guru menjadi tidak terkomunikasikan secara luas; paling-paling tersimpan di rak buku yang ada pada masing-masing sekolah. Oleh karena itu, sudah sepatutnya direncnakan adanya majalah ilmiah/jurnal minimal satu majalah pada masing-masing dinas pendidikan kabupaten di Indonesia.
Keberadaan majalah ilmiah ini sangat penting karena dapat memberikan prestise suatu lembaga, di samping dapat dijadikan sebagai tolok ukur produktivitas lembaga dan pengakuan terhadap para penulis. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran majalah ilmiah merupakan mercusuarnya suatu lembaga. Sayangnya, sampai saat ini, jumlah majalah ilmiah di lingkungan lembaga pendidikan di luar perguruan tinggi sangat terbatas adanya sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bagi guru untuk tidak menulis karena tulisan yang diakui kreditnya adalah tulisan yang dimuat di dalam suatu majalah ilmiah.
4.        Tingkatkan  Frekuensi Penyelenggaraan Lomba Menulis Karya Ilmiah dalam Bidang Pendidikan
Lomba semacam ini  biasanya  dilakukan setiap tahun oleh pihak perguruan tinggi yang mencetak tenaga guru seperti Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam rangka memperingati hari jadinya setiap tahun.
Di samping itu, lomba serupa juga dilakukan oleh pihak Departemen Pendidikan Nasional dengan melibatkan guru di seluruh Indonesia. Kedua jenis lomba yang biasanya dilakukan setahun sekali itu tentu  tidak banyak bisa melibatkan guru untuk ikut sebagai peserta lomba. Itulah sebabnya perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan frekuensi penyelenggaraan lomba menulis karya ilmiah yang mampu memberikan kesempatan secara lebih luas kepada para guru. Untuk itu, dengan ditetapkannya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, sudah sepatutnya, pihak dinas pendidikan tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi menyusun program penyelenggaraan lomba penulisan karya ilmiah setahun dua kali atau setiap semester sekali. Seyogyanya penyelenggaraan lomba menulis karya ilmiah bidang pendidikan diadakan secara berjenjang, mulai dari tingkat gugus, tingkat Kecamatan, tingkat Kabupaten, tingkat Propinsi dan tingkat Nasional. Sehingga dapat melibatkan semua guru sebagai peserta lomba.
5.        Tingkatkan Motivasi Guru dalam Menulis Karya Ilmiah
Aktivitas menulis karya ilmiah di kalangan guru memerlukan adanya motivasi dari guru. Tanpa adanya motivasi dari dalam diri guru itu sendiri niscaya gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru sulit membuahkan hasil yang memadai.  Logikanya dengan adanya program sertifikasi guru seperti sekarang ini guru sepatutnya sudah termotivasi untuk rajin menulis. Namun, tampaknya hingga saat ini, motivasi menulis karya ilmiah di kalangan guru maih tergolong rendah. Oleh sebab itu, salah satu cara meningkatkan motivasi guru untuk menulis karya ilmiah dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru adalah dengan menjadikan prestasi lomba menulis karya ilmiah sebagai salah satu pertimbangan penting dalam pengisian lowongan jabatan tertentu di lingkungan sekolah maupun di lingkungan dinas pendidikan mulai dari tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, tingkat provinsi, bahkan sampai ke tingkat nasional.
Adapun dasar berpikirnya adalah guru yang sering memenangkan lomba penulisan karya ilmiah khususnya di bidang pendidikan tentu memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang berbagai  persoalan menyangkut lika-liku pendidikan dan pengajaran sehingga hal ini merupakan modal bagi guru dalam memecahkan persoalan-persoalan substansial dalam bidang pendidikan dan pengajaran.









BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Simpulan yang dapat ditarik dari keseluruhan uraian di atas. Pertama setidak-tidaknya ada dua pertimbangan mengapa gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru dapat meningkatkan profesionalisme guru, yaitu (1) Profesi menulis bersifat terbuka, siapa pun dapat melakukannya asalkan mau belajar dan bekerja keras dan (2) Menulis karya ilmiah dapat meningkatkan kompetensi guru khususnya yang menyangkut kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Kedua ada beberapa strategi yang dapat ditempuh dalam melaksanakan gerakan menulis karya ilmiah di kalangan guru, yaitu: (1) tingkatkan pelatihan menulis karya ilmiah di kalangan guru, (2) berlangganan majalah ilmiah/jurnal, (3) membuat majalah ilmiah/jurnal minimal di tingkat kabupaten; (4) meningkatkan frekuensi pelaksanaan lomba menulis karya ilmiah dalam bidang pendidikan; dan (5) meningkatkan motivasi guru untuk menulis karya ilmiah.

B.        Saran
Dengan adanya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, sebagai acuan pelaksanaan  penilaian kinerja  guru di sekolah untuk mempermudah proses penilaian kinerja guru. Peningkatan karir tenaga kependidikan dapat ditempuh dengan penulisan karya ilmiah sebagai sarana pengembangan profesi.
Upaya yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan kompetensi dan karirnya adalah berpartisipasi dalam forum atau kegiatan ilmiah profesional; membuat karya tulis ilmiah/populer, karya seni, dan karya teknologi; dan melaksanakan penelitian/pengkajian kerja profesionalnya baik secara individual maupun kolaboratif






DAFTAR PUSTAKA

Akhdiah, Sabarti; Arsjad, Maidar G; Ridwan, Sakura, H. 1998. Menulis I. Jakarta: Depdikbud
Hasibuan, Malayu S.P, 2001. Karir Guru Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.
Sigit, Suhardi, 2003. Proses Rekrutmen dan Pendidikan Guru, Yogyakarta: BPFE-UST.
Syarief, Ikhwanuddin, dkk. 2002. Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia  Baru, Jakarta: PT Grasindo.                             
Wahyono, 2008. Kompetensi Profesi Guru, Jakarta: PT Grasindo.
Simamora Henry.  (2001), Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit STIE YKPN, Yogyakarta 

Aksi Nyata Modul 3.3

  Aksi Nyata Modul 3.3. Pengelolaan Program yang Berdampak pada Murid Oleh: Achmad Hufron, S.Pd.Jas CGP Angkatan 2 Kabupaten Kebumen F...