ARTIKEL
PENTINGNYA PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN INKLUSI DI SEKOLAH DASAR NEGERI
Oleh
ACHMAD HUFRON, S.Pd. Jas
NIP 19830826 200604 1 006
SD NEGERI 5 KEBUMEN
UPT DINAS DIKPORA UNIT KECAMATAN KEBUMEN
KABUPATEN
KEBUMEN
2016
PENTINGNYA PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN INKLUSI DI SEKOLAH DASAR NEGERI
Achmad Hufron
SD Negeri 5 Kebumen Jawa Tengah
E-Mail: hufron_achmad@yahoo.co.id
A. PENGANTAR
Peraturan
Menteri Pendidikan No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta
Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa. Dalam pasal 1 peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusi
adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki kecerdasan dan/atau
bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Dengan adanya peraturan
ini menegaskan bahwa pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah wajib memfasilitasi dan menyelenggarakan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus melalui sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. Implementasinya
adalah semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang tidak
mendiskriminasikan dengan kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin,
kemampuan, dan lain-lain.
Setiap anak berhak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan
yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Masih banyak anak
berkebutuhan khusus tidak dapat bersekolah dikarenakan faktor dari orang tua
yang malu ketika memiliki anak berkebutuhan khusus yang akhirnya disimpan saja
di rumah. Selain itu jauhnya sekolah SDLB membuat orang tua berfikir bagaimana
transportasi dan biaya yang dikeluarkan untuk menyekolahkan anaknya ke SDLB
karena tingkat ekonomi masyarakat berbeda-beda terutama keluarga yang mempunyai
tingkat ekonomi yang rendah. Kita tahu sendiri bahwa setiap kabupaten rata-rata
hanya memiliki SDLB yang jumlahnya sedikit bahkan belum tentu di masing-masing
kecamatan ada SDLB. Salah satu solusinya adalah membuat sekolah dasar umum
untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi.
B. MASALAH
Solusi yang diterapkan oleh
pemerintah dengan membuat sekolah dasar umum untuk menjadi sekolah dasar penyelenggara
pendidikan inklusi belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Banyak masalah
yang muncul di lapangan yang menghambat pelaksanaan program sekolah dasar umum
sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusi diantaranya: pertama, adanya ketakukan pihak sekolah
apabila menerima siswa berkebutuhan khusus akan mempengaruhi peringkat sekolah
yang dilihat dari ujian nasional. Banyak sekolah yang khawatir apabila menerima
anak berkebutuhan khusus mempengaruhi nilai akhir ujian sekolah yang
mengakibatkan nilai rata-rata ujian akhir sekolah akan turun dan peringkat
sekolah menjadi turun. Turunnya peringkat sekolah membangun opini masyarakat
terhadap sekolah tersebut menjadi negatif sehingga animo untuk menyekolahkan
anaknya di sekolah tersebut akan menurun.
Kedua, kurangnya
perhatian pemerintah daerah terhadap sekolah penyelenggara pendidikan inklusi.
Belum semua daerah memperhatikan sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi
hal ini dibuktikan masih banyaknya daerah yang belum membuat peraturan daerah
yang berkenaan dengan penyelenggara pendidikan inklusi. Hal ini mengakibatkan
sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan ilklusi hanya mengandalkan bantuan
dari pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi yang datangnya bantuan setiap
tahunnya tidak pasti keluar. Ketiga, sarana
dan prasaranan sekolah yang belum siap untuk menampung siswa berkebutuhan khusus.
Banyak sekolah yang memang pemenuhan sarana dan prasarananya tidak disetting
untuk anak berkebutuhan khusus, misal: tidak adanya closed duduk untuk anak
lumpuh, ruang masuk kelas yang kadang masih berundak-undak tidak diseting untuk
masuknya kursi roda ataupun untuk anak tuna netra dan lain sebagainya.
Keempat, belum ada guru pembimbing khusus di masing-masing sekolah dasar negeri.
Sekolah-sekolah dasar yang ditunjuk sebagai sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi banyak yang belum memiliki guru pembimbing khusus, jangankan guru
pembimbing khusus, untuk memenuhi jumlah guru kelas saja sekolah harus
mengangkat guru wiyata bakti karena kurangnya jumlah guru PNS di sekolah negeri
tersebut. Apabila nantinya mengadakan guru pembimbing khusus maka beban
anggaran BOS akan semakin bertambah, apalagi adanya peraturan pemerintah yang
kadang membuat sekolah takut yaitu peraturan tentang sekolah tidak
diperbolehkan menarik iyuran dari wali murid.
C. PEMBAHASAN DAN SOLUSI
Secara konseptual pendidikan inklusif merupakan sistem layanan Pendidikan
Luar Biasa (PLB) yang mempersyaratkan agar semua ABK dilayanai di sekolah umum
terdekat bersama teman seusianya. Dalam pendidikan inklusi menempatan ABK
tingkat ringan, sedang dan berat secara
penuh di kelas biasa. Menurut (Ilahi : 2013) beberapa hal yang perlu dicermati
tentang tujuan pendidikan inklusif, yaitu: (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan
yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Walaupun
UN (Ujian Nasional) untuk sekolah dasar dihapus dan digantikan dengan US (Ujian
Sekolah) tetap membuat sekolah dasar umum masih ragu untuk menerima anak
berkebutuhan khusus karena pada hakikinya antara UN dan US tujuannya sama. Hal
ini dijelaskan pada Peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan republik
Indonesia No. 6 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah Pada
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Dasar Luar Biasa dan penyelenggara
Program Paket A/ULA pasal 3 menjelaskan bahwa hasil US/M digunakan untuk: (a)
penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; (b) pertimbangan
seleksi masuk satuan pendidikan berikutnya; (c) pemetaan mutu satuan pendidikan;
dan (d) pembinaan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
apabila hasil US/M rata-rata turun atau lebih rendah
dengan sekolah lain maka sekolah khawatir dipetakan menjadi sekolah yang
mempunyai mutu pendidikan kurang sehingga animo masyarakat untuk mendaftar
anaknya di sekolah tersebut menjadi turun. Jangankan di sekolah umum, disekolah
yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi saja terkadang masih menerapkan seleksi
masuk untuk anak-anak berkebutuhan khusus apalagi sekolah-sekolah favorit.
Solusi yang harus dilakukan adalah membuat regulasi
untuk kelulusan anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar umum dan sekolah
dasar yang sudah ditunjuk sebagai sekolah inklusi di buat sama sehingga
kebimbangan sekolah umum untuk menerima siswa ABK dapat teratasi. Contoh:
tentang peraturan siswa ABK yang memang dinilai tidak dapat mengikuti UN maka
oleh sekolah tidak didaftarkan sebagai peserta UN tapi hanya peserta ujian
sekolah yang nantinya tidak mendapatkan ijazah tetapi hanya diberikan Surat
Tanda Tamat Belajar (STTB) yang dapat digunakan untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama inklusi (SMP Inkulsi). Orang tua siswa ABK juga diwajibkan membuat
surat pernyataan tidak menuntut anaknya untuk diikutkan menjadi peserta UN.
Depdiknas
(2009) mengenai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Pasal 4 menjelaskan bahwa: (1)
Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1
(satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan
pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1, (2) Satuan
pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta
didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1. Pasal 5 menjelaskan bahwa: (1)
Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan mempertimbangkan
sumber daya yang dimiliki sekolah, (2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) mengalokasikan kursi peserta didik yang memiliki
kelainan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling sedikit 1 (satu)
peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan diterima, (3) Apabila
dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dapat terpenuhi, satuan pendidikan dapat menerima peserta
didik normal.
Dalam
Depdiknas (2009) mengenai Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, mewajibkan setiap pemerintah daerah hanya menunjuk satu
sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama di masing-masing kecamatan
tetapi yang terjadi banyak pemerintah daerah tidak memenuhi kuota itu.
Contohnya Pemerintah Kabupaten Kebumen yang terdiri dari 26 kecamatan hanya
memiliki 4 sekolah dasar inklusi dan 2 sekolah menengah pertama inklusi. Ini
baru menunjuk sekolah saja seolah-olah sedikit ragu apalagi sampai membuat
perda tentang penyelenggara pendidikan inklusi yang konsekuensi logisnya ketika
sudah diperdakan maka pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pendidikan
inklusi wajib membiayai dan menyediakan sarana dan prasarana yang timbul dari
peraturan daerah tersebut.
Dari
peraturan tersebut siswa ABK yang diterima dalam satu rombel juga dibatasi.
Yang terjadi di lapangan siswa ABK dalam satu rombel dibatasi maksimal 3 anak
ABK. Itupun tidak semua jenis kebutuhan khusus dapat diterima, kadangkala
sekolah inklusi tertentu hanya menerima siswa ABK dengan jenis kecacatan dari
ringan ke sedang.
Solusi yang
dapat dilakukan yaitu: pertama, pemerintah
pusat memberikan penekanan kepada pemerintah daerah untuk menunjuk satu sekolah
dasar inklusi dan satu sekolah menengah pertama inklusi di masing-masing
kecamatan agar siswa ABK di wilayah kecamatan tersebut dapat terlayani dalam
hal pemerolehan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. Kedua, pemerintah pusat mewajibkan pemerintah daerah untuk membuat
peraturan daerah yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi
sehingga pemerintah daerah ikut bertanggung jawab tentang sarana dan prasarana
serta pembiayaan sesuai dengan standar minimal pelayanan pendidikan inklusi
untuk sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. Ketiga, memacu dan memberi stimulus kepada sekolah dasar umum untuk
menjadi sekolah penyelenggara pendidikan inklusi.
Banyak
sekolah dasar inklusi maupun sekolah dasar umum yang dalam bidang sarana
prasarana belum memfasilitasi kepada anak berkebutuhan khusus. Fungsi sarana
dan prasarana di sekolah hanya diseting penggunaanya untuk anak-anak normal
saja. Padahal sarana dan prasarana itu penting untuk membantu siswa memperoleh
pendidikan sesuai dengan minat dan bakat serta kemampuannya. Menurut Dikdasmen Depdikbud
(1997: 7), bahwa fungsi sarana pendidikan yang berupa alat pembelajaran, alat
peraga, dan media pendidikan dalam proses pembelajaran sangat penting guna
mencapai tujuan pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan berperan langsung
dalam proses pembelajaran di kelas sehingga berfungsi untuk memperlancar dan
mempermudah proses transfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik. Sarana
pendidikan yang lengkap dapat memudahkan guru dalam menyampaikan isi
pembelajaran kepada siswanya.
Solusi
yang dapat dilakukan yaitu membuat sarana dan prasarana sekolah yang dapat
digunakan oleh anak berkebutuhan khusus. Pembuatan sarana dan prasarana dialokasikan
dari dana BOS ataupun pengajuan proposal kepada dinas terkait yang peduli
dengan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. Memang apabila hanya
mengandalkan bantuan dari dinas pendidikan dan kebudayaan terkadang bisa dapat
bantuan tapi tak jarang juga tidak mendapatkan apa-apa, tergantung komitmen
pemerintah daerah masing-masing, apakah mereka memprioritaskan pendidikan untuk
anak berkebutuhan khusus ataupun tidak.
Kendala
yang muncul dilapangan terutama untuk sekolah penyelenggara pendidikan inklusi
yaitu belum ada guru pembimbing khusus (shadow
teacher) masing-masing sekolah.
Sekolah inklusi tersebut adalah sekolah yang sudah ditunjuk oleh pemerintah
kabupaten kota untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi, apalagi sekolah-sekolah umum yang tidak ditunjuk, pasti
lebih enggan untuk mengangkat guru pembimbing khusus. Padahal pada Kemendiknas
(2009) yang berisi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Pasal 10 ayat 1-4 menjelaskan tentang: (1)
Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru
pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan
inklusif, (2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak
ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1
(satu) orang guru pembimbing khusus, (3) Pemerintah kabupaten/kota wajib
meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, (4)
Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan menyediakan tenaga pembimbing
khusus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan
sesuai dengan kewenangannya.
Keberadaan
pendamping (shadow) untuk siswa ABK
sangat penting, hal ini dijelaskan oleh Nuraeni dkk (2014:322) Shadow teacher atau guru pendamping
adalah seorang pendamping di bidang pendidikan pra sekolah dan sekolah dasar
yang bekerja secara langsung dengan seorang anak berkebutuhan khusus selama
masa tahun-tahun pra sekolah dan sekolah dasar. seorang shadow teacher dituntut memahami karakteristik dari ABK dengan kekhususan
tertentu dan bagaimana cara menanganinya dengan optimal.
Solusi
yang dapat dilakukan yaitu pengadaan shadow
teacher untuk setiap sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi. Paling
tidak pemerintah mengangkat guru-guru lulusan pendidikan PLB untuk menjadi guru
pendamping. Apabila sekolah belum mampu mencari guru pendamping (shadow teacher), maka sekolah dapat
memberikan saran kepada orang tua siswa untuk mencari pendamping (shadow) baik itu dari keluarga sendiri
atau memang dari pihak tertentu yang dipercaya oleh orang tua siswa. Hal ini
dilakukan untuk membantu guru dalam kegiatan proses belajar mengajar di kelas,
sehingga semua siswa dapat terlayani dengan optimal. Menyediakan guru
pembimbing khusus yang berkwalitas dan berkompeten membuat anak berkebutuhan
khusus dapat mengikuti kelas dengan maksimal ketika perhatian penuh dan fokus
diperlukan bagi seorang anak untuk menerima dan memproses informasi yang
disampaikan ketika kegiatan pembelajaran sedang berlangsung di dalam kelas.
D. KESIMPULAN DAN HARAPAN
1. KESIMPULAN
Penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah dasar
umum perlu dilakukan dengan tujuan memberikan fasilitas kepada siswa ABK mendapatkan
pendidikan yang layak tanpa diskriminasi. Untuk mengantisipasi keengganan
sekolah umum menyelenggarakan pendidikan inklusi dengan alasan hasil UN yang
buruk maka pemerintah membuat konsep kelulusan siswa ABK berbeda dengan siswa
umum. Konsep kelulusan tersebut tidak hanya dilakukan di sekolah inklusi yang
ditunjuk tetapi juga diterapkan ke sekolah-sekolah dasar umum. Disamping itu
pemenuhan sarana prasarana sebagai standar layanan sekolah penyelenggara
pendidikan inklusi perlu diadakan, hal ini untuk memfasilitasi kepentingan
siswa ABK menyalurkan kemampuan, minat, dan bakatnya.
Pendidikan inklusif sebagai suatu sistem layanan ABK
menyatu dalam layanan pendidikan formal. Konsep ini menunjukkan hanya ada satu
sistem pembelajaran dalam sekolah inklusif, tetapi mampu mengakomudasi
perbedaan kebutuhan belajar setiap individu. Peran serta pemerintah disini sangatlah penting
yaitu dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada penyelenggaran
pendidikan inklusi. Kebijakan tersebut berhubungan erat dengan kegiatan
pendanaan untuk pengadaan sarana prasarana, guru pendamping (shadow teacher), dan segala hal yang
berhubungan dengan kegiatan penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah
dasar.
2. HARAPAN
Untuk mengatasi permasalahan dan kendala yang terjadi
di lapangan dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif diperlukan komitmen
tinggi dan kerja keras melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah
maupun masyarakat untuk mengatasinya. Dengan demikian, tujuan akhir dari semua
upaya memberikan kesejahteraan para penyandang cacat dalam hal memperoleh segala haknya sebagai warga Negara dapat
direalisasikan secara cepat dan maksimal.
Pemerintah Pusat seyogyanya
segera mewajibkan setiap daerah utnuk membuat peraturan daerah baik itu melalui
peraturan Bupati atau surat keputusan Kepala Dinas Pendidikan tentang
implementasi penyelenggaraan sekolah inklusif di masing-masing Kabupaten/Kota,
agar sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat diakui dan diberi
pendampingan baik yang berupa pendampingan sarana prasarana, pendanaan dan
peningkatan kompetensi guru pendamping khusus bagi sekolah inklusi.
DAFTAR RUJUKAN
Depdikbud. (1997). Pedoman penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Jakarta: Dikdasmen Depdikbud.
Ilahi,
M.T. 2013. Pendidikan Inklusif Konsep dan
Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Kemendiknas.
2009. Peraturan Menteri Pendidikan No. 70
Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Jakarta :
Kemendiknas.
Nuraeni,
K., Dewi & Hawanti, S. 2014. Model Program Pembelajaran Individual Untuk
Peserta Didik Dengan Kesulitan Belajar Melaui Pelatihan Terapi Gerak Bagi
Shadow Teacher di SD Inklusi. Prosiding
SnaPP 2014 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, 4 (1) 319-326.
Permendikbud No. 6
Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah Pada Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Dasar Luar Biasa, Dan Penyelenggara Program
Paket A/ULA (Online), http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/bsnp/un/2015/Permendikbud6-2015PenyelenggaraanUS.pdf. Diakses 11 Oktober 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar